Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar menyebutkan, luas hutan yang rusak itu setara dengan dua kali luas lapangan sepak bola per jam. Sedangkan kerugian ekologis akibat penggundulan hutan tersebut diperkirakan sekitar Rp220 miliar per tahun. Selain akibat aktivitas pembalakan liar, ekspansi perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri (HTI), dan usaha pertambangan juga memberikan kontribusi besar terhadap deforestasihutan alam tersebut.
Kerusakan hutan saat ini jauh lebih parah jika dibandingkan dengan era 1980-an. Dahulu kerusakan hanya disebabkan aktivitas HPH (hak pengusahaan hutan). Tapi sekarang ditambah dengan pembalakan, ekspansi perkebunan kelapa sawit, HTI dan pertambangan, kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kalbar Saban Stiawan, Sabtu (17/1).
Ia mengatakan, kerusakan hutan yang terus meluas setiap tahun itu menyebabkan Kalbar pada tahun ini terancam bencana ekologis. Tanda-tanda bakal terjadinya malapetaka itu sudah mulai terasa sejak beberapa tahun terakhir, yakni dengan adanya banjir besar yang melanda hampir sebagian besar wilayah provinsi itu.
Banjir akibat hujan dan air laut pasang kini bukan lagi fenomena alam tetapi sudah menjadi sebuah bencana akibat ketidakseimbangan ekologis. Sebab, daerah banjir setiap tahun semakin meluas dan besar, jelasnya. Walhi Kalbar mendesak pemerintah segera memberlakukan moratorium atau jeda tebang pada hutan alam agar ancaman bencana ekologis itu tidak terjadi. Sebab, program penghijauan dan rehabilitasi yang dilakukan selama ini tidak banyak membantu memperbaiki kerusakan hutan karena hanya berorientasi proyek.
Hentikan pemberian izin perkebunan kelapa sawit, HTI dan pertambangan di kawasan hutan serta proteksi kawasan konservasi dan penyangga ekologi. Selain itu, tinjau ulang aktivitas sektor yang memberikan kontribusi bagi kerusakan lingkungan, kata Saban.
Sumber : www.koranindonesia.com
Sumber : www.koranindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar